to kill a mockingbird

[BOOK REVIEW]: “Mati Baik-Baik, Kawan” karya Martin Aleida oleh Ecko August

BOOK REVIEW
Mati Baik-Baik, Kawan karya Martin Aleida

oleh

Ecko August (@alandesoisons)

Image

Judul : Mati Baik-Baik, Kawan

Penulis : Martin Aleida

Penerbit : Akar, Yogyakarta

Tahun : 2009

ISBN : 978-979-19004-4-7

 

 

 

 

 

 

Dendam bisa kehilangan isi, tapi ingatan tak pernah sirna. : Terlalu pendek waktu untuk mempertimbangkan sebuah maaf. Terlalu lama aku memendam dendam yang telah membatu.

Perangkat hasil peradaban mutakhir itu hanya dibiarkan terduduk memperoleh perlakuan sebagaimana benda-benda arkais dihargai. Di situ, dia tak lebih dari penjaga jendela yang setia. Pagi dibiarkan tersapu angin dan disinggahi debu. Malam hari dia menjadi saksi bisu di pojok kamar itu.

Sebelum membaca buku ini terus terang saja bahwa saya hampir tak tahu apapun_bahkan cenderung tidak peduli_tentang apa yang sebenarnya terjadi pada peristiwa G 30 S PKI, selain apa yang sudah saya ketahui dari buku-buku pelajaran sekolah yang saya terima dengan membabi buta, seperti diinginkan pihak penguasa waktu itu, dengan tanpa menengoknya kembali hingga beberapa saat lalu. Dari buku inilah saya baru dapat mengerti efek dari peristiwa G 30 S PKI. Dari buku Mati Baik-Baik, Kawan tulisan seorang yang pernah mengalami sendiri nasib yang didapatkannya akibat kebohongan yang dilakukan militer pada waktu itu, yang dengan sepihak menuduh PKI yang berada di belakang peristiwa G30S, yang kemudian membenarkan pembantaian atas orang-orang yang dianggap terlibat dalam PKI. Martin Aleida dengan bahasa yang halus dalam buku ini hendak merekonstruksi sejarah, menceritakan kembali seputar peristiwa diantara tahun 1965-1966 yang telah mengubah banyak wajah nasib Indonesia pada masa itu.

Parang, senapan, dan bom serta tank bukanlah senjata paling mengerikan yang mampu diciptakan manusia; melainkan kebohongan stigma negative dan prasangka buruklah yang paling mematikan untuk membunuh seorang manusia. Lewat buku ini Martin seperti hendak menegaskan pandangan Harper lee(penulis buku To Kill A Mockingbird) bahwa prasangka buruk adalah kejahatan paling biadab yang bisa dilakukan oleh manusia. Pada dasarnya tak ada yang bisa dilakukan oleh seseorang yang sudah dicap buruk oleh masyarakat secara luas. Orang-orang yang punya prasangka buruk dalam hatinya telah secara otomatis menulikan telinga dan tak mempedulikan lagi pembelaan orang yang dianggap bersalah. Kita seringkali tak mampu menduga apa sih yang mampu diperbuat prasangka buruk? Bahwa prasangka buruk sangat mampu membuat seseorang putus asa; dan dari pengalamanku, aku tak bisa berbuat apa-apa untuk membantu seorang yang sedang berputus asa. Tidak!! Orang yang berputus asa pada nasib tidak akan tertolong kecuali oleh dirinya sendiri yang mau; bahkan superman pun bisa mati oleh prasangka buruk!

Terdapat Sembilan cerita pendek di dalam buku ini, dan dalam kesembilan cerpen itu Martin Aleida menuliskan kembali sejarah yg telah sekian lama disembunyikan kekuasaan pada masa itu. Bahwa cerpen-cerpen itu seolah hendak melawan pemalsuan sejarah yang terjadi beberapa dekade lamanya. Hal-hal yang dengan sendirinya luput dari memori generasi muda zaman sekarang, yang tak mengalami masa-masa penuh ketakutan pada tahun 1965-1966. Cerpen-cerpen Martin Aleida menggambarkan dengan begitu baik efek dari peristiwa G30S PKI.

Dalam kerangka besarnya, di buku ini Martin Aleida seolah konsisten hendak menunjukkan bahwa stigma buruk PKI dan prasangka buruk telah mengambil kehidupan tokoh-tokoh cerpen dalam buku ini

Salah satu cerita pendek yang saya tak bisa lupakan dari buku ini adalah cerpen‘Mangku Mencari Doa di Daratan Jauh’. Sebuah cerita tentang tokoh Mangku yang memanusiakan seekor kera(sahabatnya) yang mati karena gigitan anjing gila. Mangku yang merasa tidak dimanusiakan oleh sesama manusia memilih untuk menguburkan mayat kera (sahabatnya) dengan pemakaman yang layak untuk seorang manusia. Dan diatas makam kera itu mangku berdoa dan berkata, “Persis sebagaimana kau dikuburkan ini, begitulah kematian yang kuinginkan. Mati baik-baik, kawan. Diiringi doa….” dari cerpen pertama inilah judul buku ini diambil

Cerpen berikutnya yang berjudul “Bertungkus Lumus”, berkisah tentang seorang guru perempuan yang ditangkap pihak militer karena baru-baru saja dia menikah dengan seorang aktivis yang diduga turut membantai para jenderal TNI di jakarta. Betapa ia, seorang guru yang berilmu, yang tidak tahu apa-apa tentang PKI, ditangkap dan diperlakukan tak senonoh. Pada waktunya datang pertolongan yg ia memang harapkan, datang seorang kapten yang berkata “aku tahu kau bukan PKI, ikutlah aku..” yg terjadi kemudian adalah bahwa ia dijadikan gundik. Bahwa seorang guru diperlakukan seperti barang hak milik adalah sebuah penderitaan yang tak paling tak beradab. “Dendam bisa kehilangan isi, tapi ingatan tak pernah sirna.”

Cerpen “Ratusan Mata Di Mana-Mana” adalah cerpen terakhir di buku ini. Di sini, Martin Aleida mengisahkan bagaimana kehidupannya setelah ia di bebaskan dari tuduhan terlibat G30S PKI. Bagaimana dia memulai untuk menata hidupnya lagi. Martin Aleida akhirnya bisa bekerja sebagai wartawan di Tempo. Tapi, sekali lagi, bahkan di antara kalangan orang-orang terpelajarpun Martin akhirnya mendapatkan perlakuan yg berbeda ketika rekan-rekan kerjanya mengetahui bahwa Martin pernah DITUDUH terlibat gerakan G30S PKI.

Selain cerpen-cerpen diatas, Leontin Dewangga, Ode selembar KTP, Dendang perempuan pendendam adalah cerpen-cerpen lain yang punya penggambaran efek dari G30S PKI yg sangat baik dan halus. Buat saya pribadi, Ode selembar KTP dan Leontin Dewangga adalah cerpen yg paling saya sukai dalam buku ini. Untuk lebih mengenal siapa dan bagaimana karya karya Martin Aleida lebih dalam dan lebih detil, ada sebuah essai dari Katrin Bandel yang dimuat di halaman terakhir dalam buku ini; Martin Aleida dan sejarah, yang membicarakan karya-karya Martin Aleida, dari sana kita bisa lebih mengenal Martin Aleida dan karya-karyanya. Dan tentu saja Katrin Bandel adalah orang yang lebih kompeten dalam hal ini daripada saya, maka ada baiknya saya tak lebih banyak cakap lagi selain menghimbau untuk membaca sendiri buku ini 🙂

Buku ini sangat dianjurkan untuk mereka yg hendak tahu apa sih imbas dari gerakan G30S PKI dan pembantaian masal yg terjadi setelahnya; juga bagi orang yg masih suka berprasangka buruk, sudah seharusnya mereka berhati-hati. Dari aku, aku kasih 5 bintang untuk buku ini. Dari bahasa dan cerita, aku cuma bisa kasih jempol aja.